Thursday 8 January 2015

I'm grateful!


Setelah beberapa tahun ini menebak-nebak, semalam gw pun mendapatkan konfirmasi.
Ya, mereka hidup dengan subsidi. Ya, segala kemewahan mereka disubsidi, bukan dari gaji penuh sang suami, tapi dari ayah si istri.
Dan melihat betapa menggebu-gebunya si pembawa berita - yang notabene adalah ibu kandung si suami di atas - agar ayah si istri - alias besannya sendiri - berkenan memberikan piutang untuk keluarga tersebut membeli rumah, gw hampir gak bisa kaget lagi.
Ke mana harga dirinya?
Apakah semata-mata karena uang, maka dia begitu total 'melayani' menantunya itu? Sadarkah dia, selama ini jalan-jalan, makan-makan mahal yang mereka nikmati, sebagian besar (mungkin) berasal dari hasil kerja keras besannya?
Ke mana harga diri suaminya?
Gw yakin betul gajinya tidak mungkin cukup untuk membiayai hidup mereka, plus gaya hidup si istri yang tidak banyak surut sejak 'kejatuhan' mereka beberapa tahun lalu.
Bisakah dia tidur nyenyak setiap hari, dengan kenyataan bahwa hidup mereka masih ditunjang oleh orang tua?
How could they?

Dan, gw pun bersyukur. Benar-benar bersyukur. Meskipun hidup kami jauh dari mewah, pas-pasan, tapi hampir semua dibiayai oleh kami sendiri (sampai akhir tahun kemarin, biaya listrik dan air masih ditanggung orang tua). Kami menikmati hasil kerja keras kami sendiri.
Gw bersyukur, tahu ke mana suami gw setiap hari, tahu jam berapa dia akan pulang setiap hari.
Gw bersyukur, gak perlu cari utangan ke mana-mana, gak perlu menghamparkan harga diri demi bisa hidup enak.
Dan baru kali ini, gw bisa melihat, sesungguhnya gw sama sekali gak boleh memandang diri gw lebih rendah daripada mereka. Hanya karena mereka bisa makan di tempat-tempat mewah, gak berarti mereka lebih hebat. Jempol dari suami saat menikmati masakan gw (yang gak sering-sering amat juga sih), itu jauh membuat gw merasa lebih hebat.