Monday 21 September 2015

drama penerbit


Di post yang ini, saya menuliskan tentang gundahnya saya dalam kerja sama terbaru saya dengan sebuah penerbit.

Mari kita sebut itu penerbit X.
Dari bulan Mei sampai September, saya sudah mengerjakan 3 buku, lumayan, karena tidak ada jeda.

Namun yang menjadi ganjalan adalah ketika saya akan masuk ke buku 3. Saya baru sadar, honor saya untuk buku 1 saja belum lunas!
Jadi, prosedur mereka begini (sesuai kontrak dari mereka):
naskah terjemahan dikirim >> revisi, jika ada akan melibatkan saya >> dalam waktu 30 hari dan setelah buku siap dicetak, saya akan mendapat honor.

Poin ketiga inilah yang langsung membuat saya pusing. Karena kenyataannya, 30 hari dan kapan buku siap dicetak itu tidak sinkron adanya. Buktinya, saya sampai harus meminta honor buku 1 dilunasi barulah mereka melunasinya, padahal 30 hari sudah lewat, mungkin hampir 2 bulan waktu itu.

Mulai merasa tidak masuk akal, saya meminta mereka melunasi terlebih dulu honor buku 1 sebelum saya mengirimkan naskah terjemahan buku 2 (waktu itu, saya sudah menyetujui kontrak untuk buku 3).

Mereka menyanggupi. Saya kirimkan buku 2, lalu setelah masuk buku 3, mereka membayar setengah honor buku 2. Sampai di sini saya mulai ketawa-ketawa sendiri. Bayar honor kok kayak nyicil hp di konter.

Sedang saya mengerjakan buku 3, saya dihubungi proofreader mereka, yang meminta saya merevisi beberapa hal. Sebagian besar footnote, kata si mbak PF ini.
Tadinya saya dengan senang hati saja meladeni permintaan ini, sampai saya membaca apa-apa saja yang mereka minta revisi.

Mereka minta saya kasih footnote untuk nama makanan, khawatir pembaca salah sangka dan mengira kerbau memang punya sayap dan bisa dimakan, katanya. (Maaf ya, para pembaca, saya iba kalian dianggap selugu itu).
Mereka meminta saya mengganti Hari Kasih Sayang dengan Valentine.
Dan lain-lain, yang menurut saya itu adalah tugas dan wewenang editor. Bagi saya, kalau hasil terjemahan saya tidak memuaskan mereka, ya tinggal stop kerja sama saja kan, kenapa harus merepotkan saya lagi? Ingat, honor yang dibayarkan ke saya itu di bawah honor saya yang biasa, lho.

Karena itu, saya melayangkan protes dan meminta revisi kontrak untuk buku berikutnya yang sudah mereka minta untuk saya terjemahkan.
Saya tahu risikonya. Dari seorang sumber tepercaya, penerbit ini sebenarnya bukannya tidak punya uang, buktinya bisa menggelontorkan 30 juta untuk pameran, tapi ya itu, tidak bersedia membayar dengan pantas saja. Teman-teman profesi lain pun sudah menolak untuk bekerja sama dengan penerbit X ini. Jadi, saya sudah siap kalau mereka akan menyelesaikan kerja sama hingga di sini.

Mereka tetap pada pendirian mereka, yaitu honor dibayarkan 30 hari setelah naskah terjemahan dikirimkan, itu pun SETENGAH, dan baru akan dilunasi JIKA PENERJEMAH MEMINTANYA. Dan mereka tetap meminta revisi, tapi dengan catatan, hanya seputar penerjemahan.

Saya membalas, oke, revisi, tapi hanya jika saya salah menerjemahkan, saya mengganti konteks, dsb. Saya tidak melayani pembuatan footnote, jika ada beda selera dalam penggunaan kata-kata, itu juga saya serahkan kepada editor. Saya meminta honor dibayarkan dalam waktu 2 minggu dan LUNAS.

Dan, ya, akhirnya mereka angkat tangan dan memilih untuk mengakhiri kerja sama ini, dengan alasan sudah tidak cocok, dan mereka bukan penerbit yang asal, membiarkan naskah apa adanya.
Saya kepingin menangis rasanya, menangis geli tepatnya, karena saya rasa permintaan saya tidak sedikit pun memaksudkan agar naskah diterbitkan apa adanya. Mereka punya tim editor, kan? Punya, kan? Ya... kecuali mereka memang kekurangan orang, dan bermaksud memanfaatkan si penerjemah lugu ini untuk merangkap jadi editor.

Sungguh lho, dulu kerja sama dengan penerbit besar Indonesia itu gak ada reseh-reseh begini. Mereka juga sama sekali tidak melemparkan kembali naskah untuk saya revisi. Itu, saya yakini, karena mereka punya tim editor yang mumpuni.

Ya, sudahlah. Mari selesaikan dengan indah. Setidaknya, hati saya seperti terlepas dari beban ratusan kilogram. Memang, lebih merdeka rasanya melangkah dengan harga diri. Tidak apa-apa pintu yang ini tertutup, setidaknya saya tidak harus merangkak untuk melewatinya.
 

 




No comments: