Wednesday 18 May 2011

2 months and so - roller coaster

Lama nian gak update ya, hihi...
Well, ada sedikit cerita selama 2 bulan lebih 'mengabdi' di bimbel alias bimbingan belajar milik seorang sahabat. Tepatnya sih punya kakaknya.
Jadi sudah kurang lebih dua kali saya ditawari untuk bantu ngajar di sana. Tapi selalu saya tolak karena pada hakekatnya saya tidak suka mengajar. Emang sih agak bertentangan dengan gelar S.Pd saya. Ya sudahlah, gak usah dibahas :D
Tapi kali ini beda. Sahabat saya ini meminta jauh-jauh hari, karena guru Bahasa Inggris mereka akan cuti melahirkan selama 3 bulan. "Jam kerjanya gak panjang kok, lumayan juga dapetnya lho," rayunya.
Dengan pertimbangan sahabat saya sedang butuh bantuan, dan saya bisa memenuhinya, akhirnya saya mengiyakan permintaan itu.

Minggu-minggu pertama saya masih (sangat) menikmati pekerjaan itu. Bertemu anak-anak yang lucu-lucu, berjuang keras untuk menghapal nama mereka satu demi satu (sering banget saya salah panggil nama, tapi kayaknya mereka gak nyadar, hihi). Namun lama kelamaan, saya mulai merasa jenuh.
Memang sih jam kerjanya gak panjang. Selasa-Sabtu, masuk jam 8 pagi, pulang paling sore jam 4. Itu pun hanya 2 hari, sisanya bisa pulang jam 1 siang. Tapi jujur saya merasa terkurung di sana, mengajarkan yang itu lagi itu lagi. Belum lagi soal materi pelajaran yang kelewat berat untuk ditanggung anak-anak seusia mereka (saya mengajar dari anak TK-4 SD). Oya, sekolah mereka dekat dengan tempat les, dan sekolah swasta itu salah satu yang paling bergengsi di Jakarta.
Saya mulai merasa frustrasi ketika mencoba menjelaskan tentang Past Tense kepada anak-anak kelas 2. Beberapa dari mereka (jarang sih) cukup pintar mengubah kata kerja 1 menjadi kata kerja past tense. Tapi sebagian besar dari mereka masih kesulitan ketika disuruh membolak-balik dari kalimat affirmative menjadi negative atau interrogative. Usut punya usut, saya tanyakan, "Kalian tau ga verb?" And olalala jrengjreng, mereka semua menggeleng polos.
They don't know what bloody hell VERB is! Mereka gak tau part of sentences itu apa! Terus buat apa mereka udah kerjain soal Past Tense? Kok di sekolah gak diajarin kalo pun niat ngasih materi yang relatif berat untuk anak 8 tahun itu?
Tingkah orang tua mereka pun ikut menyumbangkan cenat cenut di kepala saya. Ada seorang ibu yang super duper kuatir dengan putranya yang baru 8 tahun. Tiap ngomong sama saya tampangnya pasti selalu keliatan cemas. Sebenarnya, mungkin setiap saat wajahnya kayak gitu.
"Ini di rumah gak pernah belajar! Maen mulu. Mau ulangan dia  malah diare. Aduh saya pusing. 2 jam ya Miss hari ini. Besok 2 jam lagi." Catatan: kemarin dia juga habis 2 jam belajar sama saya. 
Asli, saya bete abis sama ibu yang satu ini. Saya mencoba maklum, mungkin dia takut nilai-nilai anaknya jelek. Tapi sang anak pernah sekali mengadu kepada saya, di hari Sabtu yang cerah, di hari yang saya percaya harusnya dinikmati semua anak dengan bermain-main sepuas hati, "Capek tau Miss, ngeles tiap hari!" Dalam hati saya, "Gue juga capek tau ketemu lu seminggu 3x2 jam!" Hoho.
Si ibu juga berulang-ulang mendesak saya untuk memberikan PR SEBANYAK-BANYAKNYA pada putranya itu. Salah tulis, ulang terus! Begitu perintahnya.
Semua guru di tempat ini juga udah bete banget sama si ibu itu. Kasian sih, tapi gimana yaaa.... Masak sih tanggung jawab mendidik dan mencerdaskan si anak ada di pundak kita para guru (bimbel)?
Ada pula seorang bapak yang sering menelepon (ke tempat les) untuk memastikan saya memantau anaknya. "Tolong ya Bu, dia itu agak lemah Bahasa Inggrisnya... saya sedang sibuk dengan kerjaan, jadi kurang bisa pantau dia. Tolong diperhatikan lebih anak saya itu Bu... Bantuin dia kerjain soal, jawabin gitu soalnya..." YEEEEE.
Jadi ingat, bertahun-tahun yang lalu, saya pernah menjadi guru privat seorang anak SMP swasta ngetop juga, si ibu dengan getol meminta saya untuk datang 3 kali seminggu, termasuk Sabtu. Saya langsung tolak mentah-mentah (lihat keyakinan saya soal hari Sabtu di atas).
Ada pula yang memaksakan kapasitas anak-anaknya. Satu anak kelas TKB misalnya, sudah disuruh menggunakan buku kelas 1, dengan alasan, "Biar nanti gak ketinggalan, udah bisa langsung cepet ngikutin." Masalahnya Tante.... anak Tante yang manis dan imut-imut itu kapasitasnya belum nyampe... baca 'book' aja bingung... gimana mau pake buku kelas 1 yang udah ada 'reading' dan 'answering question' itu??
Pertama-tama saya masih ngotot mengajarkan anak itu dengan menggunakan buku kelas 1 kurikulum Singapura itu. Tapi lama-lama, daripada saya stres mendengar anak manis itu bertanya tiap saat, "Ini jawabnya pake bahasa Inggris ya Miss?", akhirnya saya memutuskan back to her capacity aja. Jadilah saya menghiasi bukunya dengan gambar-gambar gelas, buku, pensil dkk dan menyuruhnya menulis berulang-ulang. Reward-nya boleh mewarnai gambar-gambar itu. Dia senang, saya senang.
Ada pula orang tua yang sepertinya gak peduli anaknya dapet pelajarannya apa gak. Jadi ada satu anak cowok, 3 SD, selama saya ngajar di situ, gak pernah dia bawa buku! Keterlaluan gak? Terakhir-akhir dia bawa sih, buku dan pensil, tapi itu pun buku bekas kakaknya yang masih kosong! Grr! Pernah, dia akan ulangan minggu depan, jadi itu saat saya harus kasih dia drilling soal-soal. Eh, masih kira-kira setengah jam lagi dia selesai, sang mama menjemput lho, dengan alasan nanti anter kakaknya ke les entah apa itu bakal telat. Padahal saya sudah made it clear, anaknya lagi belajar soal-soal ulangan. Tapi kalo emaknya aja gak pusing, kenapa saya harus ngotot coba? Demi kedamaian jiwa, saya lepaskan anak itu pulang.
Pada akhirnya, saya memutuskan saya sudah mulai stres. Dua kali seminggu saya ketemu dengan anak-anak kelas 4 SD yang kelakuannya ajaib. Saya stres ketemu mereka. Saya stres harus ngulik-ngulik pelajaran apa lagi yang harus saya kasih ke mereka, sementara mereka berteriak-teriak, bermain satu sama lain. Setiap Sabtu pagi, jam 8-11, saya diserbu oleh 9-10 anak dalam waktu yang bersamaan di sebuah kelas yang sempit. I was hyperventilated.
Dan di akhir bulan kedua, when I found out that I'm pregnant, saya sepakat dengan suami untuk mengajukan berhenti mengajar lebih cepat.
Bukannya tidak ada yang saya nikmati selama mengajar di sana, sungguh.
Saya tertawa ketika ketemu anak-anak TK dan kelas 1 yang masih polos dan ada-ada aja tingkahnya. Saya terharu ketika seorang anak TKB memberikan saya biskuit cokelat tanpa meminta imbalan. I was taken aback ketika seorang anak kelas 4 yang menurut saya tukang bully dan difficult, out of nowhere menghadiahkan saya sebungkus Qtela. 
Saya kagum melihat jiwa mereka yang masih murni, ketika seorang anak ingin meminjam penghapus dan satu meja anak-anak yang belum tentu kenal dengan anak itu BEREBUTAN untuk meminjamkan penghapus mereka. Gak ada kecurigaan itu anak bohong, gak ada kecurigaan penghapus mereka gak balik lagi. Mereka tulus mau membantu.
Entahlah apa saya akan merindukan mereka... tapi yang pasti saya bertekad untuk gak jadi orang tua yang memaksakan anak-anaknya menjadi apa yang mereka (orang tua) mau, tapi sesuai apa yang anak-anak itu dan above all, apa yang Tuhan kehendaki dari hidup mereka. Dan saya akan berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengedepankan kemampuan akademis mereka dibanding karakter mereka. I met so many children with challenging characters there. Ada yang hobi mengeluh, membantah, ngambek, and so on and so on. Saya prihatin kalo mereka diajar dengan cara yang salah, akan jadi apa mereka? Tapi butuh waktu yang terlalu lama untuk membentuk karakter mereka tersebut. Thus I strongly believe, it lays on the parents' shoulders. Gak gampang, mengingat banyak dari mereka yang sudah bercerai, belum lagi yang sepertinya menganggap tempat les sebagai tempat penitipan anak sementara mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing :(
Well I hope I can fulfill my responsibility as a mother later! It's a tough job! Cemungudh!




No comments: