Sunday 6 April 2014

No Kids Allowed (?)

Tadi malam gw makan di Bakso Wang, Ruko Crystal, Gading Serpong. Tempatnya sederhana, dindingnya dihiasi poster-poster makanan (yaiyalahya masak poster model rambut), juga beberapa pesan dan rekomendasi pemilik yang lucu dan ringan bahasanya.

Nah, tadi itu si Ben makannya hopping tables. Untung yang makan di sana cuma kami (kita bertiga sama Ci Devi dan krucils), tapi gw cukup haleluya juga ngejer Ben yang beberapa suap sekali pindah meja. Seorang mbak pelayan pun berkomentar, "Wah, makannya jalan-jalan nih." "Iya nih, pindah-pindah meja dia," sahut saya.

Di meja terakhir, saat lagi menyuapi Ben, tau-tau saya didatengi si mbak. Dia meletakkan dua boneka clay Smurf kecil di depan Ben dan bilang, "Nih, buat mainan." Daaann Smurf pun sukses membuat Ben duduk anteng di tempat sampai suapan terakhir :D

Chloe dan Kimi, yang entah dari mana radarnya bisa menangkap ada mainan padahal lagi duduk membelakangi kita, langsung menghampiri Ben dan menatap Smurf itu dengan napsu. Waktu si mbak ambilin lagi Smurf dari etalase dagangan di sebelah meja kasir, gw nanya sama dia, "Itu buat jualan, Mbak?" "Oh, nggak, memang buat mainan," jawabnya ramah.

WOW. Gw yang udah terkesan dengan simple gesture of consideration-nya si mbak makin terkesan. Kalau benar memang si pemilik menyediakan mainan untuk entertain little guests mereka, double WOW. WOW WOW.

Bukan apa-apa. Sekarang bukan hal yang aneh lagi kalo denger restoran atau hotel melarang kehadiran anak kecil di tempat mereka. Alasannya klasik, kids are annoying and they don't want those little rascals nag their precious older customersIt is not uncommon for us to hear some people would lightly throw negative comments towards fussy kids in public space. Or maybe we, once or twice, did the comments ourselves.

Sederhananya, anak kecil kerap dipandang sebagai gangguan. Gw pun menyadari itu. Terkadang kalo Ben mulai angot, entah di tempat makan, atau di rumah orang, gw langsung deg-degan karena takut menerima pandangan menghujat dari orang-orang. Belum lagi kalau ada yang men-sst!-kan Ben, padahal itu ya temen gw sendiri. Jujur, gw gak terlalu suka kalo Ben harus di-sst-kan oleh orang lain. I mean, kan Ben belum lancar bicara, ya mungkin aja itu dia lagi menyampaikan perasaannya yang sedang bete, and as a mom, I should be the first to realize it, no?

Well, back to topic, seberapa terganggunya kita dengan anak-anak - khususnya yang lagi rewel - sih? Mengapa kita terganggu? Apakah karena kita merasa kenyamanan kita terusik dengan kebisingan jeritan mereka? Probably, yes. Ya bayangin aja, lagi asik-asik stalking timeline orang tau-tau denger jeritan, "Aaaaaa!" yang diiringi mainan beterbangan ke sana ke sini. Maunya kita, makhluk-makhluk kecil itu duduk diam, anteng, sementara orang-orang dewasa do their businesses. Is that right? Gak heran, banyak orang tua (muda) yang membekali balita mereka dengan berbagai gadget yang diisi dengan "permainan edukatif" atau "tontonan rohani". Duh, gak kasian apa ya anak yang lagi berkembang pesat otaknya itu disuruh interaksi (kalau bisa disebut interaksi) dengan mesin? Gak kasian apa, mulut anak yang lagi seru-serunya belajar bicara yang harusnya mengeluarkan suara-suara lucu itu, mangap gede sambil nonton si dino ungu bongsor joget-joget? Eh, jadi melenceng.

Ya, intinya gini. Kita mengharapkan little human itu bersikap sebagai grown-ups. Kalo ngomong jangan teriak-teriak. Kalo jalan jangan sambil lari-lari. Kalo mau minta sesuatu ya ngomong, jangan nangis. Kalo bosen jangan jejeritan. EMANG itu bener, dan harus diajarkan pada mereka. Tapiiiiii, wahai harap diingat, if anything, mereka ini tetep anak-anak. Mereka bukan orang dewasa dalam bentuk mini. Mereka anak-anak, dengan segala keunikan dan ciri khas mereka. I'm not trying to excuse any noises they could cause during their tantrums, lho. Menurut gw, orang dewasa vs anak kecil = tetap orang dewasa yang harus mengalah, dalam artian, mencoba menyelami apa yang lagi digalaukan si anak, dan mencoba solve the conflict dengan cara yang tepat. Dan tugas siapa itu kalau bukan tugas orang dewasa? Kids are not capable of it, no?

Lucu gak sih, kita teriak-teriak bahwa kita harus membesarkan generasi mendatang dengan lebih baik, karena merekalah pemegang masa depan kelak, bladidydidyblabla, tapi in other hand, we treat these so-called future generation quite recklessly. Sadar gak sih, kita mungkin memperlakukan mereka seperti pajangan? Boleh untuk dipertontonkan, tapi harus tetap behind the case, and do not disturb the harmony and peace the grown-ups are trying to maintain here, thank you.

We were once a kid. All of us. Well, unless if you have this Benjamin Button-syndrome. Now, if you don't mind to give it a thought, imagine you as a little kid, how would you like knowing a place does not accept your presence there just because the matter of your age? Will you feel rejected? Do you even realize, that as young as a baby, a child will know that s/he is not wanted? And how do you feel carrying that impression for the rest of your life, maybe? And are you convinced that these kind of kids would grow as kindhearted people that this world needs?

I understand some people just can't stand kids. But they don't need to be resentful towards those little precious ones, right?

If children live with kindness and consideration, they learn respect. (quoted from Dorothy Law's poem)

And hell how we need more respect in this world!

No wonder, the simple gesture of kindness of the waiter at the restaurant has earned her my deep respect. Thank you, whoever you are.

 

 

No comments: