Monday 4 August 2014

the song (1)

"Suatu hari nanti, aku akan menulis banyak lagu, dan yang menyanyikannya adalah penyanyi-penyanyi terkenal di Indonesia, di dunia!"

Aku tersenyum. Kau selalu percaya diri seperti itu. Dan aku selalu tersihir dengan keyakinanmu, membuatku percaya akan segala mimpi-mimpimu, bahwa kau benar-benar bisa menjadi seperti yang kau inginkan. Ketika kau bilang kau sangat suka memasak, aku percaya kau bisa jadi koki ternama negeri ini. Ketika kau bilang kau mengidolakan Agnes Monica, aku percaya Agnes akan tergila-gila padamu jika dia mengenalmu. Ya. Sedalam itulah rasa percayaku padamu.

"Dan aku akan menulis satu lagu untukmu, Shir."

Aku mengerjapkan mata. Kau memandangku dengan matamu yang selalu berbinar-binar ketika menceritakan impianmu itu. Mata yang melengkung seperti bulan sabit, dengan alis tegasmu, selalu berhasil menyeretku ke dalam sihirmu. Selalu. Lidahku kelu. Aku tahu, harusnya aku tertawa saja dan mengabaikan perkataanmu itu.

Tapi seperti yang dilakukan semua wanita yang sedang macet akal sehatnya karena cinta, aku hanya bisa tersipu-sipu dan cengar-cengir.

 

10 tahun berlalu.

Aku hampir tak pernah mendengar kabar langsung darimu lagi. Sebagian besar berita tentangmu kudapat dari Facebook, atau Twitter, atau Instagram. Itu pun tidak setiap saat karena aku jarang punya kesempatan akses media-media sosial itu. Ucapan selamat ulang tahun darimu di Instagram-ku saja baru kubaca setelah lewat tiga minggu.

Aku hanya bisa tersenyum pahit saat membaca ucapanmu itu. Bayangkan, ucapan selamat ulang tahun dari seseorang yang pernah meneleponmu setiap malam, yang selalu memastikan dirinya yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun padamu lewat telepon, di Instagram. Rasanya seperti naik tinggi-tinggi ke puncak pohon Baobab lalu ditendang jatuh.

Kau sudah punya kekasih. Akhirnya, setelah bertahun-tahun kau sendiri dan gagal menyemai hubungan cinta dengan beberapa gadis yang kau sukai. Tahukah kau, salah satu teman kita sempat curiga kamu suka sesama jenis? Menurutnya, kau itu tidak jelek, punya banyak uang dengan karier yang sangat bagus - yang omong-omong jauh melenceng dari mimpimu untuk menjadi penulis lagu itu -, tapi kenapa kau selalu gagal dalam cinta? Gadis-gadis yang mendekatimu pun selalu mentok.

Ah. Aku selalu ingin berpikir bahwa itu gara-gara aku. Gara-gara tidak bersama denganku, kau kehilangan sosok yang kau benar-benar inginkan untuk mendampingi hidupmu. Bukankah kau pernah bilang, akulah yang paling mengertimu? Yang paling tahu apa yang terjadi dalam hidupmu?

 

Jadi, bisa kau bayangkan bagaimana berkecamuknya perasaanku ketika menerima telepon darimu, setelah sekian tahun namamu tidak pernah muncul di layar ponselku lagi. (Kau  mengganti nomor tanpa memberitahuku).

 

"Shir! Ketemuan yuk!"

Aku memejamkan mata dan sejenak kau hadir di depanku, dengan mata bulan sabit dan senyum ceriamu.

"Lagi di Indonesia, Ton?"

"Iya nih, lagi libur summer. Cuma sampe minggu depan. Yuk, yuk! Kangen nih ngobrol-ngobrol lagi."

Kau tahu tidak, kau itu kejam. 

Setelah tiga tahun menggantung perasaanku, lalu tanpa basa-basi mengakhiri apa pun hubungan yang kita punya itu, menghilang begitu saja dari hidupku, tahu-tahu kau muncul lagi dan mengucapkan kata rindu itu.

Tapi aku adalah aku. Yang selalu tersihir oleh pesonamu. Yang takut kau akan pergi lagi dan meninggalkanku.

"Ayo, kapan kamu bisa?"

 

Besok malamnya, aku menunggu kau menjemputku. Di luar gang, tempat kau sering menjemput dan mengantarku pulang sepuluh tahun yang lalu. Ingatkah kau, pernah suatu malam, saking asyiknya kita ngobrol di mobil, ada orang yang mengetuk kaca mobilmu dan mengingatkan agar mesin dimatikan saja karena bunyi dan asap yang mengganggu?

Jantungku seakan lepas dari kaitnya ketika aku mengenali sosokmu yang mendekat. Kau tidak berubah. Yah, di luar posturmu yang lebih berisi dan potongan rambutmu yang makin pendek, aku seperti berhadapan dengan Wilton yang sama, sebelum kau mengucapkan kalimat "Aku gak ada perasaan apa-apa kok sama kamu" itu.

Di mobil, kita bertukar kabar. Tertawa, terdiam, tertawa lagi. Hingga kita tiba di tempat makan yang sudah kau pesan, aku merasa kita seakan kembali ke satu dasawarsa yang lalu. Kita sahabat baik.

Aku mengerutkan dahi ketika melihat tempat duduknya cuma dua.

"Lho, kita berdua aja? Gak jadi ajak-ajak yang lain?"

Kau tersenyum. Tanpa kata, kau mempersilakan aku untuk duduk di hadapanmu. Jantungku mulai bergeser lagi dari kaitnya. Apa-apaan ini.

Seolah tak membaca raut wajahku, kau dengan tenang membalik-balik buku menu dan memanggil pelayan. Kau menanyakan pesananku, dan aku hanya bisa menunjuk foto makanan yang paling aku kenali. Entah apa saja yang kau pesan. Kau selalu suka makan dari dulu.

Pembawaanmu yang santai entah bagaimana berhasil membuatku tenang kembali. Ah, lagi-lagi sihirmu berhasil. Kita mulai mengobrol santai, dengan seekor gajah besar di samping meja kita. Mengapa hanya kita berdua? Apakah ada yang ingin kau sampaikan khusus padaku? Ataukah ini bukan hal yang istimewa bagimu, mengajak seorang wanita makan berdua di restoran berkelas?

Piring kita sudah hampir kosong ketika akhirnya kita terdiam. Seakan-akan tahu inilah waktunya. Inilah waktunya untuk kau akhirnya mengungkapkan maksudmu yang sesungguhnya. Aku menundukkan wajah. Sesaat, rasanya aku ingin menangis, menutup telinga dan melarikan diri darimu. Dari segala pesona sihirmu yang masih mengikatku hingga hari ini. Hingga detik ini.

"Shir..."

Aku menatapmu tanpa menjawab. Bicaralah.

Kau menghela napas. Lalu menunduk agak lama. Kemudian kau mengangkat kepala lagi. Mata bulan sabitmu masih berbinar-binar, namun kali ini seperti ada pantulan kaca di sana.

Tunggu. Kau... menangis?

"Kenapa?" tanyaku. 

Pertanyaan yang bukan hanya untuk hari ini. 'Kenapa' yang telah bergema sejak sepuluh tahun yang lalu di setiap rongga tubuhku. Kenapa kau menolakku, setelah kau katakan pada seluruh dunia bahwa hanya aku yang memahamimu? Kenapa kau mengingkari aku, setelah kau bilang akan menciptakan lagu untukku?

Seakan paham apa yang ada di balik pertanyaan singkatku itu, kau pun menjawab. Dan aku membiarkanmu terus bicara. Aku ingin mendengarmu menjawab dan menyimpan jawaban itu dalam hatiku selama-lamanya.

"Maafkan aku, Shir. Dulu aku takut. Aku takut untuk bertanggung jawab bagi hidup orang lain. Satu-satunya jalan keluar yang masuk akal bagiku waktu itu, ya, memutuskan hubungan. Maafkan aku Shir, sudah sangat melukaimu."

Itu inti jawabanmu. Kau banyak menyebut kisah-kisah lama kita, kau tersenyum sedih ketika mengenang segala tindakan kasarmu saat mencoba menjauhkanku. Dan aku? Aneh, aku seperti orang yang mati rasa. Aku mendengarmu bicara sama seperti mendengar para stand-up comedian. Masuk kuping kiri, mengernyitkan alis sebentar, lalu tersembur keluar dari kuping kanan.

Lalu kau melakukan apa yang sering kubayangkan sepuluh tahun yang lalu setiap kali kita berdekatan cukup lama. Kau mengulurkan tangan dan menyentuh tanganku. Mungkin karena aku tidak berespon, kau memberanikan diri dan menggenggam tanganku.

"Shira, aku pernah janji kan untuk menciptakan lagu untukmu?"

Ya, aku mengangguk dalam hening.

"Maafkan aku, sampai saat ini belum bisa aku penuhi." Matamu berkerjap-kerjap.

Atmosfer terasa sangat tebal saat itu. Waktu seolah berhenti dan di dunia ini hanya ada Wilton dan Shira.

"Karena sampai saat ini, kamulah lagu hidupku. You are the Shira of my life." 

 Cukup, kepalaku pusing rasanya. Genggamanmu malah semakin mantap.

"Shira, maukah kau memberiku kesempatan lagi? Untuk kita?"

 

 

~~~ bersambung ~~~

 

 

No comments: