Tuesday 14 July 2015

Wonderfully Made It Is


4 Juni 2015

2 hari terakhir liburan di Bangka. Aplikasi Period Plus di ponsel pintarku sudah memperingatkan, "your period is coming soon". Aku sudah membekali diri dengan pembalut yang kubeli di swalayan setempat bernama Puncak.

6 Juni 2015
Pulang ke Jakarta. Haidku belum datang. Agak deg-degan memikirkan kemungkinan yang terjadi. Tapi aku mencoba mengalihkan dengan pikiran, "Ah, kecapean aja kali. Sampe di Jakarta juga langsung keluar."

11 Juni 2015
Setelah tersiksa karena tak tahu betul apa yang sedang terjadi dan tidak memberitahukan apa-apa kepada suami, aku memutuskan untuk membeli test pack hari ini. Yang fleksibel, tidak harus urin pagi, kataku kepada kasir apotek.
Hasilnya, dua garis. Aku tidak yakin harus bereaksi apa. Dibilang kaget juga tidak, karena aku sudah menyangka hal ini. Mungkin lebih kaget karena, kok bisa ya? Mengingat proteksi yang kami lakukan sepertinya sudah cukup rapat.
Malamnya, aku memberitahukan kabar itu kepada suami. Dia kaget, karena aku sempat liburan hampir 3 minggu di Bangka, berdua saja dengan Ben, berarti sebelum itu sebenarnya aku sudah hamil. Kami memutuskan, ini memang jawaban dari Tuhan, karena selama ini kami mengulur-ulur terus kapan punya anak kedua.

16 Juni 2015
Periksa ke dr Radit, Grha Kedoya. "Selamat, Bu, sudah hamil 5 minggu." Dokter menunjuk ke sebuah kantong kecil di layar USG. "Makan dalam porsi kecil, tapi sering aja, 6-8 kali," sarannya.
Sempat terjadi drama, karena obat penguat yang dia resepkan (Utrogestan) ternyata membawa efek samping yang membuatku pusing dan drowsy berat. Besoknya, obat itu langsung aku tukar dengan Dupasthon.




8 Juli 2015
Karena biaya periksa dokter yang lumayan bikin kaget, kami memutuskan untuk mencari rumah sakit yang lebih murah tapi berkualitas. Pilihan dijatuhkan kepada RS Budi Kemuliaan, dengan dokter Marjono. Suami percaya kepada latar belakang beliau sebagai dokter Angkatan Udara. Orang militer biasanya akurat, kata suami. Sore itu, ditemani Papa-Mama-Ben, aku pergi ke RS BK. RS yang jadul, tapi cozy (yeah, I love vintage).
Dr Marjono dengan ramah menyambut pasien barunya ini. Awalnya dia melakukan USG luar, tapi karena aku habis pipis, kantongnya gak jelas terlihat. Beliau minta izin melakukan USG transvaginal, dan dari sanalah kisah ini terus bergulir.
Dengan muka agak berkerut tapi tetap tersenyum, dokter terus menggerakkan stik, mencari-cari sesuatu yang juga aku cari: janin dalam kantong.
Setelah agak lama, dokter pun berkata, "Bu, sepertinya ini kehamilan mola."
Berikutnya yang aku tahu, dokter ini dengan gamblang menjelaskan bahwa kehamilan mola (atau akrab dikenal dengan hamil anggur) terjadi akibat kelainan kromosom yang terjadi saat pembuahan (googling aja ya lengkapnya gimana ;p). Harus dikuret.
"Dok, seberapa yakin Dokter ini hamil mola?" tanyaku.
"Hampir 100%. 99,9999 % lah," jawabnya serius tapi sambil tersenyum ramah.
Dia memberikan nomor hapenya, jaga-jaga kalau aku ingin segera kuret. Beliau sih menyarankanku untuk mencari second opinion terlebih dulu.

Sampai saat itu, aku masih baik-baik saja. Aku mulai mengaitkannya dengan apa yang kurasakan selama "hamil" ini. Aku bingung kenapa sepertinya tidak ada bonding dengan janin ini. Kenapa kadang aku merasa, ini kok kayak gak ada isinya di dalem. Mama pun tak kalah seru berkata, sebenarnya dia sudah punya firasat sejak aku menyampaikan kabar aku hamil, bahwa sepertinya kehamilan ini gak akan bertahan.

Suami tak bisa banyak berespon, dia bilang yang penting aku sehat dulu.
Malamnya, Ben bertanya, "Kenapa dedek bayi gak jadi dateng?"
Saat itu, aku pun menangis. Maybe I really wanted a baby.
Berhari-hari sampai ketemu dokter ketiga, setiap malam kami menjalankan ritual doa untuk dedek bayi dengan diliputi kesedihan.

11 Juli 2015
Ketemu dengan dr Maria, St Carolus Serpong. Dokter Maria sepertinya tidak berani ambil keputusan dan menyarankanku untuk tes darah beta HCG, dan kembali ke Radit. Menurutnya, ada isi dalam kantong itu, dan dia tidak berani ambil risiko. My expectation kinda soared. Tapi suami sepertinya sudah lelah.
Siang itu juga aku tes darah. Di Bio Medika, aku nyaris mau pingsan, tiga suster bergantian menyuntikku sampai berhasil mendapatkan darah dalam volum yang diperlukan. Sepertinya aku kelewat tegang.
Sorenya, dengan bantuan seorang kawan, aku daftar di klinik dr Radit di rumahnya. Suami kembali ke lab untuk mengambil hasil. Saat menunggu giliran, suami tiba dan membawa hasilnya. "Petanda tumor," tulisnya. And my hope sank. Aku tahu apa yang akan terjadi.

Saat USG, dengan tegas dr Radit bilang, "Tidak ada janinnya." Dia menunjuk sebuah bentuk seperti honeycomb, itu gelembung-gelembung yang isinya darah. Perkataan itulah yang membuatku benar-benar legowo dan rilis.
Bisa mengakibatkan kanker, tapi itu satu-satunya kanker yang bisa disembuhkan.
Setelah dikuret, jaringan itu akan diperiksa di lab, dan aku harus dipantau rutin selama sebulan. Belum boleh hamil hingga setahun kemudian.
Syukurlah beliau praktik besok, jadi kami pun memutuskan untuk kuret besok pagi.

12 Juli 2015
Pukul 07.30, kami sudah tiba di Grha Kedoya.
Pukul 08.30, aku sudah mulai dipersiapkan untuk menjalani kuret.
Tidak lama kemudian, dokter anestesi tiba, suami pun disuruh keluar.
"Saya dokter Sandy, saya akan membius Ibu ya," kata dokter beralis tebal itu.
Suntikan pertama, "rasanya agak melayang-layang ya, Bu."
Dr Radit tiba, para bidan mulai bersiap-siap.
Suntikan kedua, "tangannya agak pegal ya, Bu."
Aku memejamkan mata, mencoba menahan rasa pegal yang dia katakan, dunia serasa berputar, dan tiba-tiba gelap.


"Agak pusing ya, Bu..." Tepukan di punggung tanganku.
Samar-samar terdengar suara suami. Aku merasakannya membelai kepalaku. Meremas-remas tanganku. Tapi aku tak bisa membuka mata, hanya bisa mengeluarkan suara-suara agar dia tahu aku sudah sadar.
Setelah hampir sejam, aku mulai pulih. Memakan nasi goreng yang disediakan supaya bisa makan obat. Lalu pergi ke radiologi untuk rontgen paru (jika menyebar, mola pertama kali akan menyebar ke paru). Hasilnya bersih, thank God.

We went home.
Dan... kami pun bertiga kembali.

Benar-benar bersyukur karena selama menjalani hari-hari itu, ada Papa-Mama, yang kalau gak ada mereka entah bagaimana aku bisa ngurus rumah plus Ben.

Apa yang kudapatkan adalah...
selama ini aku beranggapan kehamilan itu hal yang biasa. Aku malah pernah berpendapat, Ben itu ada karena aku menginginkannya ada. I simply wanted him, then there he is.
Dengan kejadian ini, segala logika melencengku pun diluruskan.
Sesuai Mazmur 139, kejadian kita itu dahsyat dan ajaib.
Kalau Tuhan menginginkannya, terjadilah. Jika tidak, ya tidak. Salah satu kromosom saja, janin itu cacat. Yang terjadi di dalam tempat-tempat gelap di dalam tubuhku itu, ya itu benar-benar kedaulatan Tuhan.

Aku juga belajar bahwa ternyata memang ada orang-orang yang bisa lho menanggapi kabar ini dengan menggoda, "Wah, jangan-jangan anak lu kembar..." atau "Suit, suit..." atau "Wah ternyata udah dua bulan aja..."
I mean, for the love of God, did they even read everything  I said?

But well, sudahlah. Berfokus sama hal-hal yang baik saja, sama apa yang akan terjadi ke depan nanti, hal-hal baik yang telah Tuhan sediakan untuk kami di hari-hari mendatang.



No comments: