Monday 17 August 2015

when the dark cloud has gone


Lucu,

bagaimana seseorang yang menjadi mimpi burukmu bertahun-tahun, tiba-tiba lenyap begitu saja.


Seseorang yang telah menjadi awan kelabu dalam kehidupanmu, tiba-tiba hilang seperti nasib ponselmu kalau dibawa tanpa pengawasan dalam metromini di Jakarta.

Seseorang yang, mungkin tanpa disadarinya, telah erat mencengkeram jalan napasmu, sehingga setiap kali harus bertemu dengannya, kau merasa udara begitu tipis dan kau hanya ingin segera menyudahi waktu tersebut.

Hampir setiap hari pikiranmu dirundung oleh orang itu, apa yang telah dikatakan dan diperbuatnya kepadamu, entah dia sengaja atau tidak, namun yang pasti telah meninggalkan luka yang tak mudah disembuhkan, dan kau hanya bisa berharap agar kau tak perlu bertemu dengannya lagi.

Kau tahu, kau tak bisa mengharapkan dia mati. Kau hanya berharap agar Tuhan yang pemurah memberikan anugerah untukmu mengampuninya, dan entah bagaimana, kalian bisa berteman, atau, yah, minimal, kau bisa bernapas seperti biasa ketika harus bersamanya.

Lalu, tiba-tiba kabar itu datang.
Dia menghilang. Kabur. Pergi. Begitu saja.

Kau nyaris tak percaya.

Dia, yang kausenyapkan Facebook-nya. Dia, yang membuatmu hampir tidak pernah membuka Instagram lagi. Semua karena mual melihat foto-foto dan caption-nya yang seolah menuntut semua orang memberikan like.

Tiba-tiba saja. Pergi begitu saja.

Dan, kau mulai menikmati hari-hari tanpanya. Kau mendapatkan kepercayaan diri baru. Seakan kau bersinar tanpa si awan kelabu itu lagi.
Satu hal yang kausesali, kau tak bisa lagi kini mengenakan lipstik baru atau pakaian yang terlihat keren untuk membuatnya iri. Yah, bukannya dia pernah iri juga sih. Tentu saja semua perabotmu itu kalah dibandingkan branded stuff miliknya.

Namun, kau jadi kasihan padanya.
Apa yang sebenarnya dia miliki?

Keluarga - yang tak lagi mengakuinya?
Suami - yang dulu dipujanya setengah mati, namun kini dicampakkannya begitu saja, dan kini sepakat untuk berpisah secara hukum?
Anak-anak - yang juga dipuja-pujanya (di media sosialnya), namun ternyata tak pernah diurusnya, dan tak pernah kehilangan dirinya - padahal yang satu sempat menyusu eksklusif padanya?
Mertua - yang dulu begitu tergantung padanya, kini menganggapnya lebih hina dari binatang?
Teman-teman - entah yang mana? Tahukah mereka siapa dirinya?
Uang - yang hampir seluruhnya, atau mungkin semua, adalah hak orang lain yang diambilnya?

Kau pun berpikir, bagaimana bisa dulu kau sempat iri padanya? Mengapa kau mengizinkan dirimu tertipu dengan penampilan luarnya?
Dia yang selalu memasang status bahagia, status betapa beruntungnya dia punya suami yang mencintainya dan anak-anak yang lucu?
Padahal, sebenarnya dia bisa hidup jujur dan baik-baik dengan kemampuannya. Dia bisa menyetir, bisa dua bahasa asing (bandingkan dengan dirimu yang mengandalkan orang lain untuk mengantarmu ke mana-mana, dan hanya menguasai satu bahasa asing); itu sudah menjadi modal yang lebih dari cukup. Tapi, ternyata baginya itu tak cukup, dia harus mendapat lebih, lebih, dan lebih.
Namun apa yang sesungguhnya dia tuai? Hanya kehancuran demi kehancuran.

Entah bagaimana nasibnya kelak. Semoga Tuhan lekas membuatnya ditemukan kembali, selamat, dan siap mempertanggungjawabkan segala perbuatannya.


 


No comments: