Tuesday 11 August 2015

Sekitar tahun 2004, saya sedang gundah untuk berhenti dari kantor pertama saya. Lingkungan kerja sudah tidak kondusif, cenderung negatif. Atasan persis di atas saya sudah bulat tekadnya untuk berhenti. Entah dia akan bekerja apa setelah itu, yang pasti dia tidak ingin lebih lama lagi di kantor ini. Saya juga ingin buru-buru berhenti, tapi karena belum ada kepastian kerja di mana selanjutnya, saya masih mempertimbangkan keputusan itu.

Makanya saya kaget betul ketika mendapatkan email dari penerbit terbesar di Indonesia. Wow, lamaran yang saya masukkan setahun yang lalu akhirnya diresponi positif! Sebelumnya, mereka memang sudah membalas dan mengatakan mereka belum punya lowongan. Siapa sangka, hampir kemudian, mereka mengundang saya untuk ikut tes penerjemah di kantor mereka.


Setelah ikut tes - yang lebih mirip dengan UTS waktu masih kuliah :'( - saya dinyatakan lulus.
Novel pertama yang saya dapatkan adalah genre Harlequin, alias fiksi roman. Awalnya semangat. Tapi setelah mengerjakan dua buku, saya kepingin menangis rasanya.
Saya tidak pernah suka genre ini. Waktu di SMP pun, ketika kami sedang keranjingan meminjam buku di perpustakaan lokal di kampung kami, saya mungkin satu-satunya yang lebih suka membaca buku Agatha Christie atau N.H. Dini, dibandingkan teman-teman saya yang memborong Harlequin.
Menye-menye, berlebihan cenderung tidak masuk akal, adalah salah satu alasan kuat mengapa terkadang saya kepingin membanting buku seperti ini di tengah-tengah membacanya.
Ketika saya mengeluhkan ini kepada kakak saya, dia hanya menghibur, "Sudahlah, ingatlah kamu dapet makan juga dari buku itu."
Akhirnya, setelah tiga buku, saya tak tahan lagi dan mengajukan permohonan agar bisa mengerjakan buku yang lebih 'muda'. Syukurlah mereka bersedia mengabulkan jeritan hati saya.
Salah satu buku genre pop terbaik yang saya pernah kerjakan adalah Saving Franscesca, karya Melina Marchetta. Mbak Melina memang penulis anak muda yang sudah banyak dapat penghargaan.

Nah, setelah kurang lebih 2 tahun, perjalanan saya dengan penerbit besar ini sepertinya berakhir sudah. Tidak ada lagi buku dari mereka. Email-email saya pun sepertinya hanya menabrak firewall. Atau mungkin penanggung jawab fiksinya sudah berganti, saya juga tidak tahu.

Setelah mereka, saya pernah bekerja sama dengan sebuah penerbit yang cukup populer di kalangan anak muda. Tapi mungkin mereka kurang cocok dengan saya, jadi setelah 3 buku, mereka tidak pernah menghubungi saya lagi.

Sekarang, saya kembali bekerja sama dengan sebuah penerbit. Bukan penerbit besar, mereka pun terus terang, karena baru merintis, anggaran mereka juga tidak besar. Saya hampir mau menangis waktu disodorkan jumlah kontrak dari mereka. Oh ya, meskipun kecil dan bosnya tidak tinggal di Jakarta, sepertinya mereka sangat serius soal pekerjaan. Mereka selalu membuat kontrak resmi, bahkan kontrak pertama saya sampai dicap materai. Karena 'terbeli' oleh isi email si bos yang tidak gombal tapi mampu menyanjung, saya menyanggupi nilai kontrak tersebut.

Novel pertama saya kerjakan dengan penuh semangat, karena ceritanya asyik, gak menye-menye. Sepertinya mereka cocok dengan hasil terjemahan saya, karena tak lama mereka menawarkan buku kedua, dan ketiga.
Tapi apa daya, untuk novel kedua yang saya kerjakan, karena berasal dari Asia, dihargai lebih murah :'( Mana isinya super menye lagi :'D
Makanya, untuk buku ketiga, saya memberanikan diri untuk nego minta kenaikan tarif. Syukurlah, diterima, dengan kenaikan hanya 2,5 % :'D :'D

Bagaimanapun juga, saya bersyukur masih ada pekerjaan. Seenggaknya, masih bisa untuk jajan-jajan lipstick atau pempek.





No comments: