Thursday 12 May 2016

Mantan Baper

Seumur hidup saya yang baru tiga puluh lima lewat sebelas bulan delapan belas hari ini, ada satu fakta yang agak miris.
Saya gak punya mantan.
Mantan pacar, ya, maksudnya. Kalau mantan guru, mantan temen sih, banyak, hohoho.
Kenapa gak punya, karena memang saya lebih banyak terjerumus dalam hubungan tanpa status. Sekarang sih istilahnya lebih keren: Friendzone. Rasa sakit dan nyeseknya sih, podo.

Namanya saja hubungan tanpa status, selama masih berada dalam hubungan itu aja gak ada hak buat nuntut apa-apa, apalagi kalau udah di luar hubungan itu. Menyebut diri mantan si X aja, rasanya gak tepat. Yang ada senewen sendiri, nangis sendiri, marah-marah sendiri, kecewa sendiri, dendam sendiri. Sementara, lebih sering, si X udah move on, bhaaay!

*ya, ini curhat*

Jadi, berbahagialah kalian yang punya hak untuk menamakan diri sebagai MANTAN, apalagi gelar mantan terindah, behhh... itu semacam lifetime achievement award, karena itu berarti, kalian punya hak untuk senewen, nangis, marah-marah, kecewa, melampiaskan dendam di hadapan publik!

Atau tidak?


Gini. Kita tidak menjadi lebih tua tanpa tujuan. Kalau umur terus bertambah tapi pemikiran di situ-situ aja, ya, apa bedanya kita sama anak tetangga kampret yang suka tereak-tereak main bola TEPAT di jam tidur siang anak kita?

Bagi saya pribadi, ternyata butuh satu dekade lebih untuk bisa melepaskan yang sudah lalu. Istilah kekiniannya, sih, to move on.

Move on tersulit ternyata masih dipegang oleh cinta pertama saya. Mungkin karena pertama ya, jadi membekas banget. Padahal deketnya juga cuma sebentar, umur juga masih piyik, tapi mungkin karena pisahnya mendadak banget, tanpa alasan tanpa kabar, tahu-tahu dia menjauh. Jadinya lama banget saya gak bisa terima. Bahkan, ternyata sampe tahun 2016 ini, saya masih belum bisa terima. Kok cepet banget, saya belum sempat kenal pribadi dia, vice versa. Berulang-ulang saya ucapkan mantra ini supaya saya sadar, "Dia, kan, yang mendadak menghilang. Berarti, dia yang gak mau perjuangin hubungan. Sudahlah, let him go." Lumayan membantu, sih, mantra itu. Tetapi, gongnya ada pada ketika saya tahu prinsipnya tentang istri yang tidak boleh bekerja, dan ibu yang bekerja di kantor (luar rumah) itu egois, mau senang sendiri, karena berarti dia gak mau urus anak di rumah. Saya yang "...." Major turn off.


Move on tersulit kedua adalah dengan seseorang yang pernah menjadi pelaku kejahatan PHP dalam hidup saya. Hampir semua tindakannya menunjukkan bahwa saya orang yang spesial bagi dia. Bahkan pernah, dia mengumumkan bahwa saya adalah orang yang paling mengenal dia. Maka ketika tiba-tiba dia mengubah sikap, lalu menyatakan dengan jelas, "tidak ada apa-apa di antara kita," rasanya dunia saya runtuh tepat di depan mata saya. Lebay, ya. Iya. Tetapi, begitulah perasaan saya waktu itu. Seorang sahabat sampai merasa perlu menculik saya ke rumahnya, menenangkan saya, merawat saya dalam segala naluri keibuannya (thanks, Ci Sal.)
Ya, begitu terguncangnya saya waktu itu.
Memang tidak ada janji apa-apa di antara kami, tidak ada komitmen, tidak pernah ada rayuan, tidak pernah ada keintiman fisik. No.
Mungkin justru karena keintiman yang terbangun di antara kami ada pada level jiwa.
We understood each other. Kami bicara dengan "bahasa" yang sama. Kami menyelesaikan kalimat masing-masing.
Hal-hal itu yang tercerabut dari hidup saya, 10 tahun yang lalu.
Jujur, saya sempat mengira kami akan terus jadi soulmate, namun jalan kami putus di sana. Tidak ada lagi persahabatan yang tersambung. Seperti lagu Gotye, "now you're just somebody that I used to know."

Memang, move on itu sakit-sakit sedap. Sakit, karena rasanya, kok, udah? Enak amat dia? Sedap, tentu saja, jika kita berhasil, woohoo, hidup rasanya ringan tanpa terganduli beban kenangan.
Bukan soal "enak amat dia", karena sebenernya, ini soal kita. Memang kesannya enak, si oknum seperti terlepas begitu saja dari kesalahan-kesalahannya kepada kita. Namun, siapa sebenarnya yang layak jadi hakim di sini? Walaupun mungkinnnn memang katakanlah 99% atau 100% persen kesalahan di orang tersebut, tidak memberi pembenaran kepada kita untuk terus merongrong apalagi berteriak-teriak di media sosial (hell yeah, saluran emosional digital) tentang betapa tidak adilnya diri kita diperlakukan, betapa jahatnya mereka, betapa tulus ikhlasnya kita mengampuni mereka saat ini, endesbre endesbro.
Banyak orang yang bersimpati, sih, itu keniscayaan. Pasti ada aja yang turut merasakan sakit hatinya kita.
Namun, jangan salahkan apabila ada orang yang tiap kali membaca statusmu tentang betapa tidak adilnya si oknum, mulai mengerutkan dahi, lalu berpikir, "Pantes dia diginiin." Ha, if you know what I mean.
Sakit hati itu tidak salah, sama sekali tidak salah. Namun rasanya tidak pantas kalau diumbar-umbar ke muka umum, apalagi dengan penyangkalan bahwa kita sudah tidak sakit hati, tidak kecewa. Lha, kenyataannya masih rajin mengingatkan akan 'dosa-dosa' si oknum, gimana toh.
Bawalah rasa tidak puas kita, sakit hati kita, hanya kepada Dia, yang mendengarkan setiap tetes air mata kita, setiap geram kita. Dia, yang mengerti, dan memulihkan dengan cara-Nya yang manis.

Makanya, jadi mantan jangan baper.


*tulisan yang butuh waktu 2 minggu untuk saya selesaikan T.T Mohon ampuni kalau bahasanya ngalor ngidul*






No comments: