Sunday 12 June 2016

Oriental Circus Indonesia - Hanoman the Dreamer - mimpi yang patah

11 Juni 2016

Hari ini kita nyobain nonton sirkus untuk pertama kalinya.
Sebenernya udah sering denger beberapa tahun terakhir, karena lokasi penampilan sirkus biasanya di Serpong, dekat tempat tinggal kakak saya dahulu. Tetapi kayaknya sirkus yang biasanya tampil itu beda, deh, dengan sirkus kali ini; Oriental Circus Indonesia (OCI).
Tessa, teman baik saya, meracuni saya buat pergi nonton. Saya agak ragu tadinya, mengingat Ben punya kecenderungan jiper dengan penampilan visual jadi-jadian, seperti barongsai, badut, dan maskot. Apa kabar sirkus, yang pastinya penuh orang berkostum aneh-aneh? “Anak gue aja semangat banget, bo, nontonnya! Ben pasti seneng juga, deh!” begitu dia meracuni saya. Anak yang dimaksudkannya adalah putri bungsunya yang belum 2 tahun. Jadi, saya pikir, Ben yang sudah 4 tahun pasti lebih bisa mengikuti acara.

Setelah mendapat lampu hijau dari yang punya uang, alias suami, pergilah kami hari ini. Go show, karena menurut Tessa kondisi di sana sepi, pasti kebagian tiket. Benar juga, tempat duduk di kelas 1 tempat kami menonton masih banyak yang kosong. Entah yang ekonomi, karena bagian ekonomi tertutup kain. Kasihan juga, udah di pojok, ditutupin kain pula, jadi gak bisa ngintip atau nyeberang ke kelas 1.
Pertunjukan dibuka tepat waktu, pukul 14.00, dengan 4-5 ekor harimau yang cantik-cantik banget! Lucu, ada seekor yang sambil melenggang masuk arena, muncrat pipis :p  Mereka dengan patuh melakukan atraksi demi atraksi, mulai dari naik turun platform, melompati cincin api, melompat dari platform, dsb. Di tengah menyaksikan aksi mereka, di sela rasa kagum akan kehebatan si pawang, saya merasa sedikit ngilu di hati. Bukankah harusnya mereka ini binatang buas, yang tak bisa diperintah, namun manusia yang hebat berhasil menundukkan mereka, mengubah binatang buas menjadi seperti kucing unyu-unyu yang bisa diperintah sesuka hati (bukannya kucing juga bisa diperintah seenaknya, sih! :p).
Setelah aksi harimau, masuklah beberapa ekor gajah. Setelah itu, dilanjutkan dengan pertunjukan utama, Hanoman the Dreamer.
Saya mengerti konsepnya. Hanoman, si kera putih yang bermimpi ingin keliling dunia, dan diberi pesan oleh peri penolong agar dia tidak lupa, selain menjadi pemimpi, dia harus menjadi pemimpin pula.
Saya mengerti, dan saya mengharapkan sesuatu yang mengagumkan.
Yang saya lihat adalah, rangkaian yang susah payah mencoba tampak utuh, namun hasilnya patah-patah.
Berbagai atraksi yang diharapkan menjadi cerminan perjalanan keliling dunia Hanoman malah menjadi atraksi masing-masing penampil. Hanoman hanya muncul di scene awal dan akhir.
Beberapa atraksi itu seperti akrobat dan trampolin memang terasa cukup menghibur. Apalagi jika yang tampil adalah ‘artis internasional Eropa’ – seperti yang tercantum pada brosur, karena postur tubuh mereka yang menjulang, enak gitu dilihatnya. Lain sekali jika saya melihat penampil lokal, duh maaf, apalagi yang tidak sejenjang penampil luar, dari bangku saya duduk sih jadi kelihatan bantet gitu. Walaupun aksi akrobatik mereka tetap pantas diacungi jempol, ya.
Adegan terakhir sih yang bikin mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba Hanoman bercinta-cintaan begitu? Dengan siapa? Dan siapa satu kera putih kecil yang menemaninya? Siapa dia? Mengapa Hanoman?
Tidak adanya karakterisasi yang kuat dalam pertunjukan Hanoman the Dreamer ini membuat kurang lebih 2 jam tadi terasa membosankan. Beda halnya jika mereka memang tidak berniat membangun karakter yang kuat, ya gak perlu pake embel-embel “Hanoman the Dreamer”, ya gak sih?
Anyway, target yang diajak alias Ben juga kurang bisa menikmati. Melihat harimau dan gajah, sih, dia masih senang. Namun ketika mulai masuk adegan Hanoman, dia mulai protes, itu monyet kok manusia? Dan akhirnya dia mulai bosan dan menggelongsor di kursi.
Saya, sih, tidak menyalahkan dia.





No comments: