11 Juni
2016
Hari ini
kita nyobain nonton sirkus untuk pertama kalinya.
Sebenernya
udah sering denger beberapa tahun terakhir, karena lokasi penampilan sirkus
biasanya di Serpong, dekat tempat tinggal kakak saya dahulu. Tetapi kayaknya
sirkus yang biasanya tampil itu beda, deh, dengan sirkus kali ini; Oriental
Circus Indonesia (OCI).
Tessa,
teman baik saya, meracuni saya buat pergi nonton. Saya agak ragu tadinya,
mengingat Ben punya kecenderungan jiper dengan penampilan visual jadi-jadian,
seperti barongsai, badut, dan maskot. Apa kabar sirkus, yang pastinya penuh
orang berkostum aneh-aneh? “Anak gue aja semangat banget, bo, nontonnya! Ben
pasti seneng juga, deh!” begitu dia meracuni saya. Anak yang dimaksudkannya
adalah putri bungsunya yang belum 2 tahun. Jadi, saya pikir, Ben yang sudah 4
tahun pasti lebih bisa mengikuti acara.
Setelah
mendapat lampu hijau dari yang punya uang, alias suami, pergilah kami hari ini.
Go show, karena menurut Tessa kondisi
di sana sepi, pasti kebagian tiket. Benar juga, tempat duduk di kelas 1 tempat
kami menonton masih banyak yang kosong. Entah yang ekonomi, karena bagian
ekonomi tertutup kain. Kasihan juga, udah di pojok, ditutupin kain pula, jadi
gak bisa ngintip atau nyeberang ke kelas 1.
Pertunjukan
dibuka tepat waktu, pukul 14.00, dengan 4-5 ekor harimau yang cantik-cantik
banget! Lucu, ada seekor yang sambil melenggang masuk arena, muncrat pipis :p Mereka dengan patuh melakukan atraksi demi
atraksi, mulai dari naik turun platform,
melompati cincin api, melompat dari platform,
dsb. Di tengah menyaksikan aksi mereka, di sela rasa kagum akan kehebatan si
pawang, saya merasa sedikit ngilu di hati. Bukankah harusnya mereka ini
binatang buas, yang tak bisa diperintah, namun manusia yang hebat berhasil
menundukkan mereka, mengubah binatang buas menjadi seperti kucing unyu-unyu
yang bisa diperintah sesuka hati (bukannya kucing juga bisa diperintah
seenaknya, sih! :p).
Setelah
aksi harimau, masuklah beberapa ekor gajah. Setelah itu, dilanjutkan dengan
pertunjukan utama, Hanoman the Dreamer.
Saya
mengerti konsepnya. Hanoman, si kera putih yang bermimpi ingin keliling dunia,
dan diberi pesan oleh peri penolong agar dia tidak lupa, selain menjadi
pemimpi, dia harus menjadi pemimpin pula.
Saya
mengerti, dan saya mengharapkan sesuatu yang mengagumkan.
Yang saya
lihat adalah, rangkaian yang susah payah mencoba tampak utuh, namun hasilnya
patah-patah.
Berbagai
atraksi yang diharapkan menjadi cerminan perjalanan keliling dunia Hanoman
malah menjadi atraksi masing-masing penampil. Hanoman hanya muncul di scene awal dan akhir.
Beberapa
atraksi itu seperti akrobat dan trampolin memang terasa cukup menghibur.
Apalagi jika yang tampil adalah ‘artis internasional Eropa’ – seperti yang
tercantum pada brosur, karena postur tubuh mereka yang menjulang, enak gitu
dilihatnya. Lain sekali jika saya melihat penampil lokal, duh maaf, apalagi
yang tidak sejenjang penampil luar, dari bangku saya duduk sih jadi kelihatan
bantet gitu. Walaupun aksi akrobatik mereka tetap pantas diacungi jempol, ya.
Adegan terakhir
sih yang bikin mengerutkan kening. Kenapa tiba-tiba Hanoman bercinta-cintaan
begitu? Dengan siapa? Dan siapa satu kera putih kecil yang menemaninya? Siapa dia?
Mengapa Hanoman?
Tidak adanya
karakterisasi yang kuat dalam pertunjukan Hanoman the Dreamer ini membuat
kurang lebih 2 jam tadi terasa membosankan. Beda halnya jika mereka memang
tidak berniat membangun karakter yang kuat, ya gak perlu pake embel-embel “Hanoman
the Dreamer”, ya gak sih?
Anyway,
target yang diajak alias Ben juga kurang bisa menikmati. Melihat harimau dan
gajah, sih, dia masih senang. Namun ketika mulai masuk adegan Hanoman, dia
mulai protes, itu monyet kok manusia? Dan akhirnya dia mulai bosan dan menggelongsor
di kursi.
Saya, sih, tidak
menyalahkan dia.
No comments:
Post a Comment