Tuesday 2 February 2010

long journey

Kantor saya sedang terancam ditinggalkan oleh lebih dari separuh karyawannya. Kantor yang kecil mungil dengan populasi 8 pekerja tetap dan 2 pekerja magang. Dari 2 apprentices itu, 1 sudah selesai, menyisakan si apprentice terakhir yang juga sudah menyatakan tidak akan melanjutkan kariernya di sini. So, 2 orang gugur sudah.
Dari 8 orang tersebut:
- 1 siap resign bulan Februari ini (katanya pengen buka usaha sendiri aja, dan memang sepertinya jasanya mulai banyak dipakai orang)
- 1 siap resign bulan Maret (sama, pengen ngembangin usaha sendiri dan ceritanya dapet modal dari orang)
- 1 siap resign bulan April (ehm, belum terlalu jelas, tapi yang pasti gak punya minat untuk meniti karier di sini)
- 1 udah mulai part-time dan sibuk mengurus usahanya sendiri.
- 2 siap resign selewat bulan Juni (pengen ngembangin usaha yang sesuai skillnya)
- 1 berencana resign segera (merasa kurang sejalan lagi dengan visi-misi tempat ini)

Diitung-itung, total yang siap angkat kaki adalah... 7 orang! Berarti itu menyisakan 1 orang!
Hoalah. Nightmare buat setiap bos.
Saya yang mana?
Saya ada di antara ketujuh orang itu :)

Saya ada di kantor kecil ini sejak tahun 2005. Cukup lama ya, sudah 5 tahun. Banyak suka duka yang saya lalui sejak bekerja di sini.
Saya masuk ke sini karena ingin membantu si bos, pure karena itu. Makanya ketika tahun 2007, terjadi prahara *jiah!* di kantor, gunjang ganjing dengan berbagai dilema, seperti hadirnya orang baru yang lebih disenangi bos, yang rasanya lebih mengerti si bos, saya terpikir untuk mundur. Ditambah konflik-konflik yang membuat saya sangat gak nyaman berada di sini lagi, makin kuat rasanya untuk berhenti. Tapi niat itu terhenti ketika si orang baru duluan mundur.
Oke, saya lanjut... lalu di pertengahan 2008, saya mendapat privilege untuk cuti 1 bulan - gak nanggung-nanggung! - yang dimandatkan bos untuk saya pakai dengan pulang kampung. Di sana, selama sebulan, saya refresh hati, pikiran dan tubuh saya. Saya sadar, tiap kali membuka laptop, saya langsung refleks mencari folder yang berisi kerjaan kantor. Omai... gak sehat banget sih. Setelah sebulan, saya berhasil mengganti refleks itu. Namun saya sadar satu hal, di ujung liburan itu, saya sama sekali tidak merindukan kembali ke kantor, tidak seperti dulu-dulu.
Saya pun menghadap bos dan menyatakan keinginan untuk resign. Bos tidak mengizinkan dan meminta saya berpikir kembali. Oke, saya penuhi.
Bulan Mei 2009, pembicaraan itu terulang lagi. Namun lagi-lagi bos meminta saya mempertimbangkan kembali.
Tapi hati saya tidak bisa disuruh diam terus menerus, tidak bisa dibohongi. Saya sudah capek dan jenuh melakukan apa yang tidak saya sukai. Saya capek ketemu dan ngeladenin orang-orang yang tidak saya senangi -cara bicara, cara berpikir, cara bersikapnya-.
Maka awal tahun ini, kembali pembicaraan itu terjadi. Dan kali ini, bos tidak menyuruh saya berpikir ulang lagi. Mungkin karena kali ini saya datang dengan sikap hati yang lebih mantap dan benar.
Saya memutuskan berhenti bukan karena ada konflik, bukan karena ada masalah pribadi - well, ehm, gimana ya, haha... 
Saya ingin -meminjam istilah Abraham Maslow- mengaktualisasikan diri sendiri. Saya ingin melakukan lagi hal-hal yang saya cintai (and get paid for that for sure, haha), saya ingin menjadi expert dalam skill saya. Saya ingin sepenuhnya di sana, dan bukan hanya sebagai sampingan.
Entah bagaimana nasib kantor mungil ini kelak, tapi saya benar-benar mendoakan kelanjutannya, semoga tetap membawa pengaruh dan manfaat bagi orang lain.




No comments: