Sabtu, 14 Februari 2015
Pukul 09.20, kami dijemput kapal menuju
Parapat. 1 jam lebih perjalanan sambil menjemput penumpang lain, kami turun di
pelabuhan, dan langsung bertemu dengan agen travel yang sudah kami pesan, Bagus
Taxi. Kami menegaskan untuk minta bangku tengah, apalagi setelah melihat ada 3
orang bule yang memesan mobil yang sama. Mereka kan badannya besar, takutnya
mereka langsung mengambil tempat di tengah. Untunglah agen travel mau bekerja
sama, “Mereka juga baru pesan tiket, kan!” demikian kata si abang. Sambil
menunggu waktu keberangkatan, kami pergi ke sebuah warung kopi bernama De Karo,
dan membeli kopi giling kasar 1 kilogram dan sebuah VCD lagu-lagu Batak. Si
kakek pemilik warung tampak ramah dan dengan senang hati melayani kami. Warung
kopi itu tampak apik dengan berbagai stiker nama negara menghiasi
sudut-sudutnya, dan isinya pun kebanyakan bule. Kami meninggalkan warung itu
dengan hati riang. Setiba di Jakarta, Aries iseng menimbang bungkusan kopi, dan
fakta menunjukkan bahwa si kakek mengurangi 100 gr dari hak kami. Kampret.
Perjalanan kali ini lebih nyaman,
mungkin karena saya juga sudah tahu untuk tidak makan sebelum berkendara jauh.
Aries bertanya apakah ada waktu berhenti makan, si supir agak ragu mengiyakan.
Dan benar, sudah jam 2 siang, mobil tak ada tanda-tanda berhenti. Ben mulai
rewel dan mengamuk. Saya sengaja bicara dengan lantang, “Aduh, Ben laper
yaaa….” Aries kembali bertanya ke si supir. Akhirnya kami berhenti di sebuah
warung makan yang cukup besar. Saya buru-buru memesankan ayam goreng dan
semangkuk sup. Ben makan dengan lahap. Aries yang tadinya bilang bisa tahan
sampe jam 3 sore pun ikut menyantap sup. Ini rekor makan Ben, gak nyampe 10
menit, tandas licin. Saya juga rada ngebut nyuapinnya. Sepertinya masih ada mental
jajahan karena tak enak membiarkan bule-bule dengan jam makan yang jelas beda
dengan orang Indonesia itu menunggu. But
whatever, yang terpenting saat itu anak gue makan!
Pukul 5, kami sudah memasuki Medan yang
muacet. Mungkin karena itu hari Valentine yang jatuh di malam minggu. Setiba di
Medan, supir berganti orang. Nah, supir yang kedua ini jauh lebih asyik. Hanya
setengah jam bersamanya, dia sudah bercerita banyak sekali tentang Medan. Di
Medan, kami menginap di Soechi International Hotel (review bisa dibaca di
sini).
Malamnya, kami makan di jalan Selat
Panjang. Buat yang tidak masalah dengan makanan non-halal, cobalah mie pangsit
Tiong Sim, mantap. Harganya 33 ribu per mangkuk. Pangsitnya gede, mie-nya
tipis. Hecie-nya juga enak, kalo di Jakarta, di daerah Glodok, hecie ini mirip
dengan yang namanya rujak shanghai. Tapi hecie isinya ada udang gede satu, bola
kepiting, juga babi.
Minggu, 15 Februari 2015.
Pukul 09.30, kami bersiap dijemput mobil
shuttle gratis dari hotel menuju
KNIA. Hanya 45 menit, kami sudah tiba.
Masih ingat kesan pertama saya? Semuanya
runtuh begitu saya masuk ke ruang departure.
Yasalam. Mungkin mereka mencoba meniru Changi atau LCCT Malaysia, tapi tapi
tapi tapi…. Ini kok jatuhnya malah kayak pasar…. Orang banyak banget, dan saya
hampir yakin mereka ini datang bukan dengan tujuan ingin terbang, tapi untuk
piknik. Ada yang ngemper sambil makan nasi bungkus, ada yang ngerokok dengan
santai. Tak banyak yang bisa dilihat di sini, kecuali Anda gila belanja.
Toko-toko yang ada pun ya gitu deh. Indomaret adalah kunci, karena itu saya
sangat bersyukur ada dia nyempil di sini. Beli oleh-oleh buat kantor Aries
berupa bolu Meranti dengan harga 75 ribu. Tidak betah lama-lama, saya mengajak
Aries turun, ke kawasan boarding.
Masuk ke kawasan ini seperti pindah ke planet lain. Sepi, tenang, beradab, dan
tanpa AC. Or, at least, that was how I
felt. Ada playground gratis yang
disediakan, dan Ben dengan gembira lari-larian di sana. I honestly can’t imagine should the playground was placed on the upper
floor, where people were happily camp.
Pukul 12, kami pun masuk ke pesawat.
Selamat tinggal, Medan!
No comments:
Post a Comment