Monday, 2 February 2015

Challenging Myself


Been wandering way too long. I need to go back.

Sepanjang mataku melihat, perjalanan ini masih begitu jauh dan ... tidak jelas. Tapi aku harus mengambil langkah, sekecil apa pun itu. Karena 1 langkah pun berarti aku tidak diam saja di tempat.
Aku harus bangkit lagi, merengkuh kembali apa yang menjadi gairahku, yang membuatku merasa hidup, yang membuatku tak sabar untuk membuka mata di pagi hari dan menantikan apa yang telah disediakan Tuhan bagiku sepanjang hari itu.

Langkah bayiku dimulai dengan latihan fingering di piano. Bukannya aku bercita-cita ingin jadi pianis atau merasa diriku akan menjadi pemain piano ternama, tapi aku sadar, aku dikaruniai bakat. Memang bukan bakat yang outstanding, tapi I humbly admit, aku cukup cepat menangkap lagu baru dan langsung memainkannya, hanya dengan modal mendengar. Ya, aku harus bertanggung jawab atas talenta ini.

I am a natural pessimist. Ini lumayan memalukan, tapi jujur, aku sering berpikir, apa perlunya berjuang mati-matian, mau jadi ini mau jadi itu, toh nanti kita semua mati juga, dan semua pencapaian kita tidak ikut ke liang kubur. Yeah, so pathetic, I know. Buat apa mengembangkan bakat? Ituuu... udah banyak penulis muda yang bermunculan dengan karya mereka - yang kadang ajaib-ajaib itu - di rak-rak buku Gramedia.

Then I remembered the story of a lord and his servants in the Bible, tepatnya di Matius 25:14-30. Tuan ini memberikan talenta (pecahan mata uang zaman itu) kepada tiga hambanya, masing-masing dalam jumlah yang berbeda - sesuai kesanggupannya, demikian tertulis di Alkitab. Setelah memberikan uang, sang tuan pun pergi ke luar negeri. Hamba yang mendapat 5 dan 3 talenta mengembangkan 'modal' yang mereka miliki, dan berhasil mendapatkan untung 2 kali lipat. Sedangkan yang mendapatkan 1 talenta menguburkannya begitu saja. Setelah sang tuan pulang, tak ayal, si hamba pemalas ini mendapat hukuman yang mengerikan, sedangkan dua hamba yang rajin diberikan hadiah tambahan.

Cerita ini benar-benar membuatku terhenyak. Kisah kuno, sudah kudengar berkali-kali, tapi baru kali ini sungguh nyata menamparku. Aku adalah hamba yang malas itu! Sudah dibekali dengan talenta, tapi tidak mau mengembangkannya, dan malah asyik dengan kehidupan sendiri.

It's my move. Aku harus bergerak, bangkit sekarang.

Langkah bayi keduaku adalah ini; menulis di blog ini, setiap hari, hingga 30 hari ke depan. Whatever it is, however long it is.
YEAH!


Thursday, 8 January 2015

I'm grateful!


Setelah beberapa tahun ini menebak-nebak, semalam gw pun mendapatkan konfirmasi.
Ya, mereka hidup dengan subsidi. Ya, segala kemewahan mereka disubsidi, bukan dari gaji penuh sang suami, tapi dari ayah si istri.
Dan melihat betapa menggebu-gebunya si pembawa berita - yang notabene adalah ibu kandung si suami di atas - agar ayah si istri - alias besannya sendiri - berkenan memberikan piutang untuk keluarga tersebut membeli rumah, gw hampir gak bisa kaget lagi.
Ke mana harga dirinya?
Apakah semata-mata karena uang, maka dia begitu total 'melayani' menantunya itu? Sadarkah dia, selama ini jalan-jalan, makan-makan mahal yang mereka nikmati, sebagian besar (mungkin) berasal dari hasil kerja keras besannya?
Ke mana harga diri suaminya?
Gw yakin betul gajinya tidak mungkin cukup untuk membiayai hidup mereka, plus gaya hidup si istri yang tidak banyak surut sejak 'kejatuhan' mereka beberapa tahun lalu.
Bisakah dia tidur nyenyak setiap hari, dengan kenyataan bahwa hidup mereka masih ditunjang oleh orang tua?
How could they?

Dan, gw pun bersyukur. Benar-benar bersyukur. Meskipun hidup kami jauh dari mewah, pas-pasan, tapi hampir semua dibiayai oleh kami sendiri (sampai akhir tahun kemarin, biaya listrik dan air masih ditanggung orang tua). Kami menikmati hasil kerja keras kami sendiri.
Gw bersyukur, tahu ke mana suami gw setiap hari, tahu jam berapa dia akan pulang setiap hari.
Gw bersyukur, gak perlu cari utangan ke mana-mana, gak perlu menghamparkan harga diri demi bisa hidup enak.
Dan baru kali ini, gw bisa melihat, sesungguhnya gw sama sekali gak boleh memandang diri gw lebih rendah daripada mereka. Hanya karena mereka bisa makan di tempat-tempat mewah, gak berarti mereka lebih hebat. Jempol dari suami saat menikmati masakan gw (yang gak sering-sering amat juga sih), itu jauh membuat gw merasa lebih hebat.


Monday, 24 November 2014


My sister is married now.

Well, yesterday was the precise date, 22 November 2014, when she was married to the love of her life. They have been through ups-and-downs, tears and laughters, so many things I believe that had made them grow even stronger in commitment.

It is pretty strange that she no longer lives in this house. I've been used to living with her like for ages. Though we didn't see each other very often, didn't really chat very deeply, yet I knew, she slept next to my room, and whenever I heard her voice, I knew she was home safely.

There are some things that I might found them annoying, as her habits of using like 2 or 3 glasses in a day, how she put her things anywhere, unfinished meals in fridge and sometimes they would be left decaying inside. Honestly, I was a bit relieved knowing I wouldn't encounter those things anymore.

But now she is truly gone, I felt a small thump in my core. Like a little hole there. My parents would go home too by this Friday, and soon I would be alone with my boy again during the daylights.

I'm happy for you, lil sis. I hope you have a very happy married life!!! But I already missed you :'(



Wednesday, 12 November 2014


I may not have their affection.
I may not be able to dine in fancy places, go to foreign cities anytime I wish or buy branded stuff no matter how much I desire.
I may not be able to complete the series of my favourite brands.
I may not be able to buy expensive, cutting-edge toys for my son.
I may not try to celebrate my son's birthday in a famous restaurant and invite the whole clan.
My husband may not try to buy me glittering jewelleries for me to publish for the world to see.
I may not be the favourite one in the clan.
I may not be the supple mom, blending in everywhere I turn.

But.

I'm grateful, that my son can't stay away from me for long.
I'm grateful, that my son demands me to feed him, to sleep beside him.
I'm grateful, that my son needs me.
I'm grateful, that my husband is a clear man.
I'm grateful, that I can be myself.


Sunday, 2 November 2014

let it go


I really need to stop the stalking. It won't help.
Why do I keep viewing her as a competitor? Maybe she doesn't even think I exist, unless there are few times we ought to gather as a circle.
Please, please, mind your own business!!! Let her be with all her foolishness. Maybe she doesn't see those as a foolishness. Let her be with her own pride. Whatever forms they are in. Be it her magnificent love for and from her hubby and darling son, be it her newest outfit or shoes or bags or ever so faithful loving friends, or her latest finding of great and expensive food. Be it!!!
Let her be with her own world.
You think she doesn't deserve them all, due to what she had done, especially what she had done to you in the past? It's none of your business.
Go on with your life. It is more important than stalking her to find her slightest laughable actions and share them with your pals.
Your life is more important that all of that. Don't live in the past. Don't observe, don't compare.
Just live your life as God has set it to be.
Be free.