Tuesday, 17 November 2015

Facebook, France, The Flag


What a sick community we're living in.

That's what came to my realization this couple of days.
Few days after Paris Attacks, our notorious darling social media, Facebook, provided a particular way for its users to extend sympathy for the tragedy. They have provided a ribbon, French national flag, for us to use in our profile pictures.
And polemic went wild soon after those tricolour profile pictures appeared on timeline.

People protested about nationalism. "Where were you when haze covered and murdered those innocent kids? Did you put our national flag on Facebook, too?" they said.

People protested about Syriah and Iran and Beirut. "There are people dying there, bombed, murdered, every day, and you don't say anything about that!" they said.

People even smirked about your happy face on your profile picture. "You are showing sympathy to a horrific tragedy while smiling widely with your selfie stick?" they sneered.

Why?
Why doing something simple as joining a silent sympathy movement is considered too much?

Nationalism?
Oh, dear, is there any single Indonesian human being who never mocked the absurdity of this beloved country and compared it to other countries in every condescending way possible? Don't you remember saying, "Oh, Indonesian!" and whining why our people are so much behind? Does showing sympathy to another country simply mean you don't love your nation that much? Come on, how many of you celebrated the National Hero Day on November 10th? Or Sumpah Pemuda on October 28th? Why suddenly people become so nationalist?

Syriah, Iran, Beirut, Sumatra-Kalimantan haze? My, apple to apple, please. Some really nice writings have been produced over this matter, go look for it. My point is, those are different situations. If you really have this urgent need to compare any tragedy, compare it to Bali Bombing. Where people were just having fun, chilling in the night, and boom, suddenly their lives were taken. Or try 911, where people were just getting prepared to work, if you condemned having fun much. Don't you realize, terror is universal? What happened there, could happen here.

Happy face on profile picture? Are you serious? Do you really want me to change it into a gloomy face of mine, embedded with French national flag? I surely CAN imagine what kind of blasphemy be thrown over me.

I don't want to take this long, my point is simple, without belittling the impact or the nature of the attack, of course:
A tragedy has happened. People were grieving. People were terrorized. What do you do when your fellows are grieving and being terrorized? You stand with them. You sympathize, or if you have a higher EQ, you empathize with them. Those Paris Attacks victims were our world fellow, right?
And if you feel that you need to scrutinize and against every simple sympathy act toward a humanity tragedy, please forgive me for saying this: you are sick.


Sunday, 1 November 2015

Rindu Itu....

Kalau kau merindukan seseorang, tapi kau tak tahu harus bicara apa dengannya nanti saat bertemu, apa yang kaulakukan?

a. Mengiriminya chat, sekadar basa-basi walaupun deg-degan akan bagaimana nanti kelanjutannya.
b. Nekat mengajaknya bertemu, lalu buru-buru ajak teman-teman yang lain biar suasana gak garing.
c. Menelan kembali rasa rindu itu, karena kau tahu, yang kaurindukan sebenarnya adalah kenangannya, momennya, bukan orangnya.

Orang berubah. Yang dulunya mungkin menjadi curahan hatimu tanpa ragu, saat ini menjadi orang paling akhir yang tahu.
Tidak apa-apa, itulah dinamika kehidupan. Tata kembali saja perasaanmu, fokus pada apa yang sudah seharusnya menjadi prioritasmu.

Ada rindu yang tak perlu ditindaklanjuti, kok.



Wednesday, 14 October 2015

Tidur, tidur, tidur....

Early to bed and early to rise makes a man healthy, wealthy, and wise.”

― Benjamin Franklin


Entah sejak kapan saya jadi susah tidur. Seingat saya, waktu masih sekolah dan kuliah, saya sangat suka, dan gampang tidur. Saat sudah bekerja pun, saya masih menikmati betul waktu tidur saya. I loved sleeping. 

Hm, mungkin sejak saya kenal dengan yang namanya teknologi, yang tercurah dalam laptop dan ponsel cerdas, teehee. Tapi, kalo diingat-ingat lagi, sebenarnya sebelum demam BlackBerry melanda, saya sudah susah tidur.

Makanya saya suka sebal waktu masih pacaran dengan Mr. A, karena dia sangat gampang dan cepat tidur (sampe sekarang), sementara saya masih segar bugar. Jadinya ya, kalo tiap telepon jam 10 malam, belum juga setengah jam, dia sudah pamit tidur.

Susah tidur ini semakin menjadi waktu saya hamil. Setelah melahirkan, apalagi. Dengan kondisi Ben yang hampir tiap dua jam sekali terbangun, boleh dikata saya cuma benar-benar tidur mulai pukul 2 pagi, karena Ben juga baru bisa tidur lumayan lama mulai jam segitu. Tetap saja, dia bangun jam 7 pagi kurang, hiks.

Monday, 21 September 2015

drama penerbit


Di post yang ini, saya menuliskan tentang gundahnya saya dalam kerja sama terbaru saya dengan sebuah penerbit.

Mari kita sebut itu penerbit X.
Dari bulan Mei sampai September, saya sudah mengerjakan 3 buku, lumayan, karena tidak ada jeda.

Namun yang menjadi ganjalan adalah ketika saya akan masuk ke buku 3. Saya baru sadar, honor saya untuk buku 1 saja belum lunas!
Jadi, prosedur mereka begini (sesuai kontrak dari mereka):
naskah terjemahan dikirim >> revisi, jika ada akan melibatkan saya >> dalam waktu 30 hari dan setelah buku siap dicetak, saya akan mendapat honor.

Poin ketiga inilah yang langsung membuat saya pusing. Karena kenyataannya, 30 hari dan kapan buku siap dicetak itu tidak sinkron adanya. Buktinya, saya sampai harus meminta honor buku 1 dilunasi barulah mereka melunasinya, padahal 30 hari sudah lewat, mungkin hampir 2 bulan waktu itu.

Friday, 4 September 2015


Terima kasih, Sayangku.

Kau telah membuatku percaya, kau bersedia menghadapi apa pun demi kesejahteraanku.

Kau telah membuatku percaya, punggungmu cukup kuat untuk tempatku bersandar dan berlindung.

Tak ada janji gombal, rayuan manis. Hanya bukti dan perbuatan.

Terima kasih.