Tuesday 14 September 2010

Hair Gratitude

Sejak kecil saya memang sulit akur sama rambut saya. Tebal, ikal dan sulit diatur. Sampai kelas 2 SD, rambut saya tidak pernah dipotong pendek, panjangnya bahkan mencapai punggung saya. Nah, saat kelas 2 SD itulah, saya melihat seorang teman memangkas rambutnya menjadi potongan bob. Dan saya pun merengek, meminta agar Mama mengizinkan saya memotong rambut mengikuti jejak teman saya itu. Mama pun membawa saya ke salon di Pangkal Pinang, ke salon langganan kepercayaannya. Saya ingat si mbak potong rambut beberapa kali bertanya, “Yakin nih, mau potong bob?” Dan saya, dengan tekad entah dari mana, menganggukkan kepala saya. Si mbak  potong rambut berkali-kali pula berkata, “Sayang banget, rambutnya udah panjang…” Tapi tanpa penyesalan sedikit pun, saya menyaksikan untalan rambut saya yang tebal dan ikal itu berjatuhan di lantai salon yang putih. Di pikiran saya, sebentar lagi saya akan menjadi secantik teman saya itu.

Apa dinyana, pikiran polos saya dikhianati oleh fakta bahwa potongan rambut bukan saja harus disesuaikan dengan bentuk wajah, tapi juga jenis rambut. Jenis rambut saya yang – sekali lagi – tebal dan ikal itu ternyata tidak membantu potongan rambut baru saya memberi efek yang saya inginkan. Bahkan, waktu mengomeli saya karena tidak kunjung bisa mengerjakan soal-soal Matematika, Mama sampai nyeletuk, “Gak tahu kenapa nih, rambut baru lu juga bikin lu keliatan nyebelin.” Lha.
Tapi sejak saat itu, saya juga setiaaaa banget dengan potongan pendek sekuping itu. Soalnya, begitu panjang dikit, pasti langsung megar ke mana-mana kayak Megaloman. Sampai sekarang saya masih bertanya-tanya apa yang bikin saya bisa bertahan memanjangkan rambut sebelum memotong rambut pertama kali itu. Hingga SMA, rambut saya mulai panjang dengan penuh susah payah dan perjuangan. Bahkan, berhasil mencapai sepundak lewat. Pada acara pernikahan tante bungsu saya, di mana saya bertugas sebagai penerima tamu, saya bahkan berhasil membentuk sanggul dari rambut saya sendiri. Itu kebanggaan lho! 
Menginjak waktu kuliah, si bob kembali jadi gaya andalan, hingga lulus dan bekerja. Lalu, tren bonding/smoothing pun mulai merajalela. Saya termasuk yang kurang pro. Soalnya, selain males ngeliat orang-orang yang rambutnya mendadak lurussss semua, saya juga gak mau merusak rambut. Dan mahal bok, hehe. Tapi waktu berlalu, pendirian saya mulai bergeser. Saya pikir, why not, kalau ini bisa membantu saya memiliki potongan rambut yang lebih baik? Maka tahun 2007, saya pun merelakan rambut saya disetrika. Berkat smoothing itulah, saya bisa memanjangkan rambut dan bisa macem-macemin rambut. Namun pada awal tahun 2009, seorang hairdresser Johnny Andrean CL dengan gagahnya memotong pendek rambut saya melebihi batas yang saya minta, dan akibatnya lagi-lagi saya harus menunggu lama untuk memanjangkan kembali rambut.
Karena masih (sangat) pendek, rambut saya yang waktu itu sudah saatnya disetrika lagi gak bisa diapa-apain. Saking geramnya, saya melayangkan surat pengaduan ke JA, yang ditanggapi dengan sangat baik, salah satunya berupa kiriman Hair Tonic penumbuh rambut produk JA :D. 
Beberapa bulan yang lalu rambut saya sudah panjang kembali, tapi sudah teriak-teriak minta disetrika. Tadinya saya gak mau, sayang keluar duit soalnya. Tapi setelah ngeliat foto pre-wed saya dengan rambut kayak orang gila – sungguh, tadinya saya pikir keliatan eksotis lho! Hiks – saya pun menetapkan hati: smoothing lagi!!! Setelah licin lagi rambutnya, saya foto pre-wed kedua kali. Hasilnya memuaskan, worth it-lah 400 ribu demi mempercantik penampilan di hari istimewa :p
Nah, sebulan kemudian, saya mulai bosan dengan gaya rambut yang lurus panjang-belah samping-agak shaggy ini. Apalagi saya suka gak betah, pasti gak lama saya ikat rambutnya. Sayang kan, rambut udah disetrika licin, tapi lebih sering dikuncir? Mau potong pendek, tapi orang-orang pada bilang jangan, soalnya 3 bulan lagi saya jadi pengantin. “Sayang, tar rambutnya gak bisa dimacem-macemin,” begitu alasan mereka. Waktu saya minta izin ke si bee, dengan santai dia tanya, “Emang orang merit rambutnya harus panjang?” Iya sih. Saya juga gak mau rambut digerai waktu hari H. Lagian buat apa ada salon yang harusnya bisa mengakali ‘masalah’ itu, ya gak? Jadi, berbekal restu tunangan, saya pun dengan mantap melangkahkan kaki ke salon dekat rumah hari ini.
Tadinya mau ke Poly Salon, karena si mas tukang potong di sana sudah beberapa kali menggunting rambut saya, dan saya cukup cocok dengan dia. Tapi berhubung udah masuk libur Lebaran, si Poly tutup. Pilihan kedua saya adalah Mey Ing. Belum pernah sih potong di sana, tapi waktu terakhir ke sana buat creambath, saya lihat banyak tante-tante sosialite yang ke sana. I had a good feeling about this place.
Saya memilih untuk digunting oleh mbak/nci yang ada, gak nunggu si tante yang punya. Dia tidak menyarankan rambut pendek, karena rambut asli saya kan tebal dan ikal, tar malah makin naik waktu efek smoothing-nya habis. Maka saya ambil jurus aman, cukup di bawah dagu aja. Poni pun saya pilih yang samping, aman. Dan waktu saya melihat pantulan wajah saya di cermin, I literally held my breath. Wow. I mean, I’m not THAT strikingly beautiful right away, tapi saya melihat sosok yang baru, yang lebih segar, yang lebih muda, ahiak! Hehe. I like it. I love it. Maka saya pun menyisipkan selembar uang sepuluh ribu ke tangan si mbak/nci yang menggunting rambut saya itu.
Dalam perjalanan pulang, saya berpikir. Saya tidak selalu memberikan tip. Selain suka pelit, buat saya tip diberikan berdasarkan puas atau gak-nya saya pada si pemberi jasa. Dan kali ini saya bisa lumayan royal, karena buat saya, si mbak/nci tadi telah berjasa memberikan saya sosok yang baru. Then I thought about God. Dia memberikan saya HIDUP yang baru. Identitas yang baru, keberhargaan yang baru, mimpi yang baru, kasih yang baru, bahkan anugerah yang baru setiap hari! Lalu apa yang sudah saya berikan kepada Dia, sebagai tanda terima kasih? Jika untuk seorang hairdresser saja saya bisa demikian berterima kasih karena membuat saya sekarang lebih menyukai sosok di cermin, apalagi untuk seorang Pribadi yang membuat saya merasa dicintai seutuhnya, apa adanya?
No, He won’t need any tip, of course. Tapi gratitude – grateful attitude – masihkah saya menunjukkan itu kepada-Nya? Atau menganggap, emang sudah kewajiban Dia untuk menyelamatkan saya? Saya rasa, saya tahu jawabannya, dan apa yang harus saya lakukan.
Give thanks, with a grateful heart… give thanks, to the Holy One… give thanks, because He’s given Jesus Christ, His Son…
And now, let the weak say I am strong, let the poor say I am rich… because of what the Lord has done for us.. give thanks…

No comments: